h1

​Menelisik Semangat dari Sebuah Lentera

October 13, 2017

Hidup adalah kumpulan ruang-ruang kosong yang semestinya kita isi dengan berbagai hal. Entah berwarna atau mungkin hanya hitam dan putih, semua tergantung pada si pemilik diri yang menjalani kehidupan.

Ada banyak sekali ruang yang di dalamnya juga terdapat lebih banyak lagi diri-diri yang lain. Yang saling menilai dan berkomentar satu dengan lainnya. Yang saling membantu bahkan menjatuhkan satu dengan lainnya. Yang saling merangkul walau ada pula yang merenggangkan hubungan antara satu, dua, tiga, bahkan lebih banyak hati di dalam tiap diri.

Bisa jadi, diri yang satu beranggap bahwa diri yang lain tak semestinya menyia-nyiakan kehidupannya. Namun, ada pula diri satu yang beranggap bahwa diri yang lain terlalu berlebihan dalam mengabdikan diri untuk kehidupannya.

Seperti kisah seekor keledai dengan seorang laki-laki beserta anaknya. Ketika ia menunggangi keledainya bersama berdua dengan anaknya, diri yang lain beranggap mereka terlalu tega pada keledai yang ukuran tubuhnya tidak lah setinggi dan sekokoh kuda. Ketika ia meminta si anak saja yang naik di atas punggung keledai, maka diri yang lain beranggap si anak tidak sopan dan tak tahu diri kepada sang bapak. Apalah lagi jika si bapak yang menunggangi keledai seorang diri, maka diri yang lain beranggap sang bapak tidak ada belas kasih kepada si anak.

Pun dalam kehidupan manusia.

Barangkali,  kita tak bisa menjadi sempurna seperti besarnya harapan orang lain akan terjauhnya kita dari segala bentuk kesalahan.

Barangkali,  kita tak bisa menjadi utuh seperti besarnya harapan diri kita sendiri agar menjadi yang terbaik tanpa cacat.

Seperti lentera, barangkali sinarnya tak mampu menerangi seluruh ruangan pada bangunan.

Namun, cukuplah cahayanya menerangi ruangan di mana ia ditempatkan. Pada lingkup itulah usaha maksimal dari sebuah lentera.

Mari menjadi baik, bukan untuk menjadi sempurna. Karena kesempurnaan adalah milik Sang Maha Sempurna. Manusia adalah makhluk yang tidak akan lepas dari kata khilaf.

Mari menjadi baik dengan usaha TERBAIK kita.

Mari menjadi baik dengan karya yang TERBAIK yang kita mampu.

Bukan pula menjadi putus asa dan meratapi diri yang memang begini.

Bukan pula menjadi pembenaran untuk berada di titik yang sama tanpa kemajuan.

Bukan pula untuk membela diri bahwa hanya ini saja yang kita bisa.

Melakukan yang TERBAIK, tak mesti untuk mendapati sempurna. Namun, bukan pula untuk tidak berusaha. Karena kita manusia.

@lazuardi421.13102017

Leave a comment